Beberapa
waktu yang lalu saya menghadiri pertemuan IATS (Ikatan alumni Teknik Sipil)
Universitas Katolik Parahyangan di Setiabudi Building, dengan pembicara salah
seorang alumnus Teknik Sipil Unpar yang sekarang menduduki posisi direktur
Summarecon Serpong. Pada akhir acara sambil melepas kangen dengan teman-teman,
baik seangkatan maupun senior-junior, saya bertukar Pin BB dengan mereka.
Pada
malam harinya saya di-invite ke dalam
grup dan ditodong untuk sharing
mengenai kewirausahaan, yang menurut rekan saya sudah saya miliki sejak masih
duduk di bangku kuliah. Bingung, itu
yang saya rasakan untuk mensharing
pengalaman saya. Karena jujur saja, semua karena faktor kepepet aja. Sejak tahun kedua kuliah memang saya terpaksa harus
mencari tambahan pemasukan, karena uang yang dikirim oleh orangtua saya pasti
tidak cukup.
Sekedar
gambaran saja, tahun 1998 setelah krisis moneter dan kerusuhan social yang
melanda Indonesia, pendapatan keluarga saya yang sebelum krisis sudah cukup
sulit menjadi makin sulit. Saat itu papi saya hanya sebagai sopir “tembak”,
kalau ada orang yang butuh jasa sopir untuk keluar kota papi saya akan
dipanggil dengan diberikan upah 50-150rb sekali jalan, dan tiap minggu belum
tentu ada. Mami saya hanya sebagai penjahit rumahan tanpa pegawai. Mereka harus
menyekolahkan ketiga anaknya, 2 di Jakarta dan 1 di Bandung (saya berkuliah di
Unpar), belum lagi untuk kebutuhan hidup sehari2 mereka sendiri.
Tahun
1998 itu menu makan siang dan makan malam saya tidak boleh berubah kalau mau
bisa makan untuk satu bulan. Menu makan siang saya hanya nasi putih, oseng
kacang panjang, dan kentang balado (+ 1 balabala
di akhir bulan apabila dibulan itu sedikit beli diktat dan fotocopy). Menu
makan malam saya hanya nasi putih dan soto ayam (yang banyakan kol dan soun
dari pada ayamnya). Itu harus saya jalani selama semester 3. Uang bulanan saya
hanya 350rb, dibagi untuk makan siang dan malam, 4rb/hari. Sisa 230rb, untuk
beli diktat, fotocopy, alat tulis, kebutuhan mandi dan cuci baju, bayar
listrik, beli gallon air mineral, dll.
Pengalaman
kekurangan uang semasa kecil dan puncaknya pada saat kuliah memotivasi saya dan
memperkuat tekad saya untuk bisa sukses dan jadi orang kaya, agar anak2 saya gak merasakan apa yang saya rasakan
dulu. Sejak itu saya mulai mencari-cari cara untuk mendapatkan pemasukan
tambahan. Saya ikut MLM (people skill
dan marketing skill banyak saya
pelajari saat usaha MLM), saya jualan dompet kulit aspal (kulit asli merk palsu) sebelum masuk kelas perkuliahan (isi
tas saya dulu hanya 1 buku tulis sisanya dompet barang dagangan), saya jadi
makelar HP (dulu HP masih mahal waktu masih jamannya Nokia HP sejuta umat),
jualan kalkulator (supaya bisa beli kalkulator teknik sendiri, karena harganya
mahal 650rb), sampai akhirnya saya kongsian
dengan teman berbisnis catering (motivasinya bisa makan gratis), buka persewaan
buku, jualan susu kedelai botolan, bahkan memiliki usaha distributor buku dan
majalah se-Bandung yang pada saat saya tinggalkan beromzet 180jt/bulan, hanya
dalam waktu satu tahun sejak kami memulai dan omzet awal tidak sampai
5jt/bulan.
Sekarang saya memiliki usaha kontraktor (masih
merintis tapi cukup sukses bagi saya pribadi bila melihat latar belakang
ekonomi keluarga saya) dan usaha laundry kiloan, dan target saya ke depannya
bisa menjadi developer. Sahabat saya dan mantan partner saya waktu di Bandung,
Johan Halim, sekarang sukses sebagai pengusaha kuliner. Dia pemilik franchise
Bakso Kaget, yang cabangnya mungkin sudah lebih dari 200 cabang se-Indonesia.
Jadi
kalau ditanya bagaimana bisa jadi pengusaha? Jawabnya gampang, yah karena
kepepet dan karena gak mau terus-terusan
jadi orang susah, jangan pernah
menyerah walaupun orang-orang di sekitar gak mendukung sebagai pengusaha tapi
menyarankan cari kerja dengan gaji tinggi.
0 comments:
Post a Comment